Share
ILMU MAWARITS, HUKUM YANG TERABAIKAN
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
PENTINGNYA ILMU MAWARITS
Jika hukum-hukum syari’at, seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya
dijelaskan secara global oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu diperinci
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah, sedangkan
hukum mawarits diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara
terperinci di dalam Al-Qur’an.
Sebagai contoh, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dirikanlah
shalat dan tunaikan zakat…” [Al-Baqarah : 43] atau :”Dan bagi Allah
atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu”
[Ali-Imran : 97], baru kemudian Sunnah menjelaskan tata caranya dengan
detail.
Adapun pembagian harta warisan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menjelaskan di awal dan di akhir surat An-Nisa. Allah sendiri yang
langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahlukNya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala menetapkan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak
ada seorangpun yang boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena
Dia-lah Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana.
SEKILAS PERBANDINGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN ANTARA ADAT JAHILIYAH DENGAN ISLAM
Pada zaman Arab Jahiliyah dahulu, harta warisan berpindah ke tangan anak
sulung si mayit, atau kepada saudaranya atau pamannya sepeninggalnya.
Mereka tidak memberikan kepada wanita dan anak-anak. Alasan mereka,
karena wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak
bisa berperang.
Sebagaimana yang berlaku pada kedua putri Sa’ad bin Rabi Radhiyallahu
‘anhu, bahwa paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka.
Ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan pamannya tersebut untuk memberi kemenakannya dua pertiga,
dan ibu mereka seperdelapan, dan sisanya barulah dia ambil.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyah menjadikan
seluruh pembagian kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karena
itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk berbagi sama
dalam pembagian, kemudian melebihkan di antara dua kelompok dengan
menjadikan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu, karena
laki-laki menangggung biaya nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha,
serta menanggung kesusahan, Maka, layak dia memperoleh dua kali lipat
dari bagian perempuan” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/433]
Pada sebagian suku di Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada
ibu, misalnya di Minangkabau, mereka memberlakukan pembagian harta
warisan kepada perempuan. Karena tugas yang semestinya diemban oleh
laki-laki, ternyata harus dibebankan kepada perempuan, mulai dari
pengasuhan orang tua ketika lanjut usia, sampai pada pemberian uang saku
untuk kemenakan dan famili.
Karena itu, suami dianjurkan (baca : diharuskan) tinggal di rumah orang
tua perempuan. Dan merupakan aib bagi suami, jika ia tinggal satu rumah
dengan orang tuanya sendiri, jika memang terpaksa harus tinggal di rumah
orang tua. Bahkan di sebagian daerah Minang, laki-laki dibeli dengan
uang sebagaimana dibelinya barang. Setelah itu, sang suami harus lebih
banyak bertandang ke rumah orang tua isteri dari pada ke rumah orang
tuanya sendiri.
Fakta seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab yang menempatkan
laki-laki sangat dominan dan diuntungkan. Dan sebaliknya, pada adat
Minang ini, laki-laki selalu dirugikan. Dikatakan oleh seorang ulama
Minang, Buya Hamka rahimahullah dalam salah satu karangannya :”Jika ada
laki-laki yang paling sengsara, maka dialah laki-laki Minang. Bagaimana
tidak, sewaktu dia masih kecil yang seharusnya dia mendapatkan nasihat
dan keputusan dari orang tuanya dalam semua urusannya dari sekolah
hingga menikah, itu semua diambil alih oleh mamaknya (paman dari pihak
ibu), ketika dia telah menikah dia menjadi semanda di rumahnya sendiri,
yang duduk harus di bawah dan di tepi-tepi, ketika sudah tua renta dan
mulai pula sakit-sakitan, dia harus siap-siap untuk menyingkir karena
pembagian rumah dan harta hanya untuk anak perempuan, maka terpaksalah
dia tidur di surau dan kalau makan harus pergi ke lapau (kedai nasi)”
Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan mengusung isu persamaan
gender yang awalnya didengungkan para orientalis barat, kemudian di
negeri kita dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang sekulit dan
satu bahasa dengan kita. Pendapat aneh tersebut ialah, tentang
pembagian mawarits harus disama-ratakan antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan –menurut
mereka- tidak adil. Pendapat seperti ini telah lama dan banyak
dilontarkan tokoh-tokoh Islam yang terkontaminasi oleh pemikiran
orientalis, yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh kelompok yang
menamakan diri Jaringan Islam Liberal.
Tentu saja, anggapan aneh seperti diatas tidak terbukti. Karena syari’at
Islam memberlakukan keadilan dan keseimbangan, dia sampaikan semua hak
kepada pemiliknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi setiap yang
mempunyai hak akan haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris” [Hadis
Riwayat Abu Dawud 3565, Tirmidzi 2/16, Ibnu Majah 2713, Baihaqi 6/264,
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata “sanadnya hasan”]
Jika adat jahiliyah di luar syariat Islam hanya melihat kemaslahatan
orang-orang kuat, maka Islam menjaga kemaslahatan orang-orang lemah,
karena mereka yang layak dikasihi dan dilindungi. Disabdakan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya engkau lebih
baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada engkau
biarkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia” [Hadist Riwayat
Bukhari, Bab Wasiat/2, dan Muslim, Bab Wasiat/5]
Islam juga tidak mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan
yang lemah. Setiap orang yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada
penghalang yang menghalanginya, maka dia berhak memperoleh warisan, baik
dia besar maupun kecil, laki-laki maupun perempuan, lemah maupun kuat.
Jika adat jahiliyah hanya mendahulukan kepentingan orang yang dapat
memberikan manfaat, tidak akan mendapatkan warisan kecuali yang ikut
serta dalam berperang dan menjaga kehormatan, atau yang menjaga orang
tua dan yang menjaga tanah persukuan, maka dalam Islam tidak menapikan
andil yang lain. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan, ayah-ayah
kalian dan anak-anak kalian tidak akan mengetahui mana yang lebih banyak
manfaatnya. Lihat An-Nisa ayat 11
Dari paparan sekilas ini, kita dapat menyimpulkan ciri khas pembagian mawarits dalam Islam sebagaimana berikut.
[1]. Ketetapan warisan merupakan peraturan yang bersifat sosial dan
mengikat bagi siapa saja yang telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Muhammad sebagai rasul.
[2]. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menempatkan setiap pemilik hak pada posisinya yang layak.
[3]. Dengan pembagian yang adil sesuai syariat tersebut, berarti Islam
telah berusaha memperkuat jalinan persaudaraan dan memperkokohnya dengan
tali silaturrahim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :” Dan
orang-orang yang punya jalinan darah sebagian mereka lebih berhak dari
sebagian yang lainnya, merupakan ketetapan dalam Kitab Allah”. Lihat
Al-Qur’an surat Al-Anfaal ayat 75
[4].Islam sangat mempedulikan kepemilikan individu, sehingga mendorong
seseorang untuk berusaha sekuat tenaga, dengan harapan orang-orang yang
dia cintai akan ikut merasakan manisnya hasil usahanya tersebut. Hal
seperti ini tidak didapatkan pada masa jahiliyah Arab dan hukum adapt.
[5]. Pembagian harta waris berdasarkan kebutuhan. Semakin seseorang
membutuhkan kepada harta warisan, semakin banyak pula dia memperolehnya.
Oleh karena itu, laki-laki memperoleh bagian lebih besar, karena
laki-laki lebih membutuhkannya daripada perempuan.
ANCAMAN JIKA TIDAK MENGGUNAKAN HUKUM ISLAM DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Orang yang tidak memakai hukum mawarits dalam pembagian hartanya, sama
halnya dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Ancaman terhadap mereka sama dengan ancaman terhadap siapa saja
yang tidak berhukum dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Maidah : 44]
“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhallim” [Al-Maidah : 45]
“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [Al-Maidah : 47]
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Pernyataan tegas (dalam permasalahan
ini) ialah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai pengingkaran, sedangkan ia mengetahui
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hukum tersebut, sebagaimana
yang diperbuat oleh Yahudi, maka dia telah kufur. Dan barangsiapa yang
tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala karena lebih
condong kepada hawa nafsu tanpa pengingkaran (terhadap hukum tersebut),
maka dia telah berbuat zhalim atau fasik” [Zadul Masir 2/366]
Dalam masalah pembagian harta waris, secara khusus Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan ancaman bagi orang yang menetapkan pembagian harta
waris apabila tidak berdasarkan hukum Allah. Allah Suhanahu wa Ta’ala
berfirman setelah ayat mawarits.
“Artinya ; (Hukum-hukum mawarits tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan
RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah
kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan
RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah
memasukannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya dan
baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa 13-14]
Ayat di atas menerangkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga
bagi orang yang membagi harta waris sesuai ketentuannya. Sebaliknya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam setiap orang yang melampaui batas,
tidak memperdulikan atau berpaling, dan menambah atau mengurangi dengan
adzab yang sangat pedih.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasuluillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :”Seseorang
beramal dengan amal orang yang shalih selamah tujuh puluh tahun.
Kemudian ketika berwasiat, ia melakukan kezhaliman dalam wasiatnya. Maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup amalannya dengan seburuk-buruk
amalan, hingga membuatnya masuk neraka. Dan sesungguhnya, seseorang
beramal dengan amal orang fasik selama tujuh puluh tahun, kemudian dia
berlaku adil dalam wasiatnya, niscaya ia dapat menutup amalnya dengan
amal yang terbaik, sehingga dia masuk surga” Abu Hurairah berkata :
“bacalah kalau kalian mau”. Kemudian beliau membaca ayat di atas.
[Hadits riwayat Abu Dawud, 2867, Ibnu Majah 22/3/2703 dan Ahmad
/447/7728. Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya Shahih”]
Demikian secara singkat pembahasan ilmu mawarits yang sangat penting
bagi kaum Muslimin. Sebagi pengingat, supaya kita tidak melalaikannya.
Dan mudah-mudahan bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
______
Maraji.
[1]. Tafsir Al-Qur’anul Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam
[2]. Tafsir Zadul Masir, Ibnu Jauzi
[3]. Irwa’ul Ghalil Fi Takhrijil Manaris Sabil, Al-Albani, Al-Maktabul Islami
[4]. At-Tahqiqatul Mardhiah Fil Mabahits Al-Faradhiyah, Shalih Al-fauzan, Maktabah Al-Ma’arif
[5]. Tashil Al-Mawarits wal Washaya, Abdul Karim Muhammad Nashr, Maktabah Haramain
Batasan Wasiat Dengan Sepertiga Bagian Warisan
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kenapa tidak boleh mewasiatkan warisan lebih dari sepertiganya ?
Jawaban.
Dilarangnya
mewasiatkan warisan lebih dari sepertiganya, karena hak ahli waris
tergantung pada harta warisan. Jika dibolehkan mewasiatkan lebih dari
sepertiganya, maka akan masuk hak-hak mereka. Karena itulah ketika Sa’ad
bin Abi Waqash meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk mewasiatkan dua pertiga hartanya beliau berkata, “Tidak
boleh”, Lalu Sa’ad berkata, “Setengahnya”. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun berkata, “Tidak boleh”, Lalu Sa’ad berkata lagi,
“Kalau begitu sepertiganya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Artinya : Sepertiganya. Sepertiganya itu cukup banyak.
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan
kaya (cukup) itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin sehingga meminta-minta kepada orang lain” [Hadits Riwayat
Al-Bukhari, kitab Al-Janaiz no. 1295, dan Muslim, kitab Al-Washiyyah
no. 1628]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan bahwa menegaskan dalam hal ini tentang hikmah dilarangnya
wasiat melebihi sepertiganya. Karena itu, jika ia mewasiatkan lebih dari
sepertiganya lalu para ahli warisnya mengizinkan, maka hal itu tidak
apa-apa. [Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 559]
[Disalin
dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min
Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal
521-522, Darul Haq]
PEMBAGIAN HARTA WARIS
Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2
Problema keluarga sehubungan dengan pembagian harta waris atau pusaka,
akan bertambah rumit manakala diantara para ahli waris ingin menguasai
harta peninggalan, sehingga berdampak merugikan orang lain. Tak ayal,
permusuhan antara satu dengan lainnya sulit dipadamkan. Akhirnya solusi
yang ditawarkan dalam pembagian waris tersebut ialah dengan dibagi sama
rata. Atau ada juga yang menyelesaikannya di meja pengadilan dan upaya
lainnya.
Sebagai kaum Muslimin, sesungguhnya untuk menyelesaikan permasalahan
waris ini, sehingga persaudaraan di dalam keluarga tetap terjaga dengan
baik, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah penulis ingin menyampaikan
perkara ini. Meski singkat, kami berharap semoga bermanfaat.
SIAPAKAH YANG BERWENANG MEMBAGI HARTA WARIS?
Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya
yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak,
keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena
Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan
hambaNya.
“Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan…”[An-Nisa : 11]
“Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah :
“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan…” [An-Nisa : 176]
Sebab turun ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin
Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku
lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini”? Lalu turunlah ayat An-Nisa
ayat 11. Lihat Fathul Baari 8/91, Shahih Muslim 3/1235, An-Nasa’i Fil
Kubra 6/320
Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata, datang isteri Sa’ad bin
Ar-Rabi’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa
dua putri Sa’ad. Dia (isteri Sa’ad) bertanya :”Wahai Rasulullah, ini
dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang
bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua
hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya
belum menikah….”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Lalu turunlah ayat waris.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil paman anak ini, sambil
bersabda : “Bagikan kepada dua putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan
ibunya seperdelapan Sedangkan sisanya untuk engkau”[Hadits Riwayat
Ahmad, 3/352, Abu Dawud 3/314, Tuhwatul Ahwadzi 6/267, dan Ibnu Majah
2/908,Al-Hakim 4/333,Al-Baihaqi 6/229. Dihasankan oleh Al-Albani. Lihat
Irwa 6/122]
Berdasarkan keterangan diatas jelaslah, bahwa yang berwenang dan berhak
membagi waris, tidak lain hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan
Allah mempertegas dengan firmanNya : “Ini adalah ketetapan dari Allah”.
Dan firmanNya : “Itu adalah ketentuan Allah”. Lihat surat An-Nisa ayat
11,13, dan 176.
Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya
cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga
meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena
pembagian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti adil. Dan pembagiannya
sudah jelas yang berhak menerimanya..Oleh sebab itu, mempelajari ilmu
fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting
untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga,
sehingga selamat dari memakan harta yang haram.
Berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan pembagian harta waris ini untuk kaum laki-laki dan perempuan. Allah berfirman.
“Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan” [An-Nisa : 7]
Dalil pembagian harta waris secara terperinci dapat dibaca dalam surat An-Nisa ayat 11-13 dan 176.
BARANG YANG DIANGGAP SEBAGAI PENINGGALAN HARTA WARIS
Dalam ilmu fara’idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa,
artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda
pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak
secara umum yang menjadi milik si mayit. Lihat Fiqhul Islam Wa Adillatih
8/270.
Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata : “At-Tarikah ialah, segala
sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh
selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti
barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau
amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh
sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi. Lihat
kitab Al-Mualim Fil Fara’idh hal.119
Adapun barang tidak berhak diwaris, diantaranya:
[1]. Peralatan tidur untuk isteri dan peralatan yang khusus bagi
dirinya, atau pemberian suami kepada isterinya semasa hidupnya. Lihat
Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/429
[2]. Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainnya.
Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/466
[3]. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian,
hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya, atau diserahkan kepada yang
berwajib. Lihat keterangannya di dalam kitab Al-Muntaqa Min Fatawa, Dr
Shalih Fauzan 5/238
Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli
waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta
peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum
harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut.
[1]. Mu’nat Tajhiz Atau Perawatan Jenazah
Kebutuhan perawatan jenazah hingga penguburannya. Misalnya meliputi
pembelian kain kafan, upah penggalian tanah, upah memandikan, bahkan
perawatan selama dia sakit. Semua biaya ini diambilkan dari harta si
mayit sebelum dilakukan hal lainnya. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dan kafanillah dia dengan dua pakaianya” [Hadits Riwayat Bukhari 2/656,
Muslim 2/866] Maksudnya, peralatan dan perawatan jenazah diambilkan
dari harta si mayit.
[2]. Al-Huquq Al-Muta’aliqah Bi Ainit Tarikah Atau Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Waris.
Misalnya barang yang digadaikan oleh mayit, hendaknya diselesaikan
dengan menggunakan harta si mayit, sebelum hartanya di waris. Bahkan
menurut Imam Syafi’i, Hanafi dan Malik. Didahulukan hak ini sebelum
kebutuhan perawatan jenazah, karena berhubungan dengan harta si mayit.
Lihat Fiqhul Islami wa Adillatihi 8/274. Tas-hil Fara’idh, 9. Dalilnya
ialah, karena perkara ini termasuk hutang yang harus diselesaikan oleh
si mayit sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 12, yaitu :
“Sesudah dibayar hutangnya”.
[3]. Ad-Duyun Ghairu Al-Muta’aliqah Bit Tarikah Atau Hutang Si Mayit
Apabila si mayit mempunyai hutang, baik yang behubungan dengan berhutang
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti membayar zakat dan kafarah,
atau yang berhubungan dengan anak Adam, seperti berhutang kepada orang
lain, pembayaran gaji pegawainya, barang yang dibeli belum dibayar,
melunasi pembayaran, maka sebelum diwaris, harta si mayit diambil untuk
melunasinya. Dalilnya ialah.
“Artinya : Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris)”
[An-Nisa : 12]
[4]. Tanfidzul Wasiyyah Atau Menunaikan Wasiat
Sebelum harta diwaris, hendaknya diambil untuk menunaikan wasiat si
mayit, bila wasiat itu bukan untuk ahli waris, karena ada larangan hal
ini, dan bukan wasiat yang mengandung unsur maksiat, karena ada larangan
mentaati perintah maksiat. Wasiat ini tidak boleh melebihi sepertiga,
karena merupakan larangan. Dalilnya, lihat surat An-Nisa ayat 12 yaitu :
“Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat”.
Jika empat perkara di ats telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa
hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli
waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota
keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir,
sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana
firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
ORANG YANG TIDAK BERHAK MENDAPAT HARTA WARIS
Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron
[1]. Ar-Riqqu Atau Hamba Sahaya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Budak adalah manusia
yang tidak memiliki wewenang sendiri, tetapi dia dimiliki, boleh dijual,
boleh dihibahkan dan diwaris. Dia dikuasai dan tidak memiliki
kekuasaan. Adapun (yang menjadi) sebab dia tidak mendapatkan warisan,
karena Allah membagikan harta waris kepada orang yang berwenang memiliki
sesuatu, sedangkan dia (budak) tidak memiliki wewenang.
Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Dan barangsiapa membeli budak sedangkan budak itu memiliki
harta, maka hartanya milik si penjual, kecuali bila pembeli membuat
syarat” [Hadits Riwayat Bukhari 2/838 dan Muslim 3/1173]
Selanjutnya beliau berkata : Jika dia tidak berhak memiliki, maka tidak
berhak mewarisi, sebab bila dia mewarisi, maka akan beralih
kepemilikannya kepada pemiliknya. [Lihat Tashilul Fara’id : 21]
[2]. Al-Qatil Atau Membunuh Orang Yang Akan Mewariskan
Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh
orang yang akan mewariskan, misalnya ada anak yang tidak sabar menanti
warisan ayahnya, sehingga ia membunuh ayahnya, maka anak tersebut tidak
berhak mengambil pusaka ayahnya. Untuk lebih jelasnya, lihat Muhtashar
Al-Fiqhul Islami, hal. 774 oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri.
Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris” [Hadits Riwayat
Tirmidzi 3/288, Ibnu Majah 2/883, Hadits Shahih Lihat Al-Irwa’, hal.
1672]
Adapun pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap
mendapat harta waris. Lihat Sunan Tirmidzi (3/288). Sedangkan jumhur
ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta waris, baik dengan
sengaja atau tidak . Lihat Sunan Tirmidzi (3/288).
Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja
tidak berdosa apabila pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun
itu ahli waris), maka membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka
tidaklah menghalangi pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang
dibunuh., karena tujuannya untuk membela diri. Demikian juga, misalnya
pembunuhan yang disebabkan karena mengobati atau semisalnya, maka
tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan harta waris, selagi dia
diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”. Lihat Tashilul Fara’id,
hal. 21-22
[3]. Ikhtilaffud Din Atau Berlainan Agama Dan Murtad
Ahli waris lain agama, misalnya yang meninggal dunia orang Yahudi,
sedangkan ahli warisnya Muslim, maka ahli waris yang Muslim tersebut
tidak boleh mewarisi hartanya. Dan demikian juga sebaliknya.
Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu berkata sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidak boleh orang Muslim mewarisi harta orang kafir, dan
tidak boleh orang kafir mewarisi harta orang Muslim” [Hadits Riwayat
Bukhari 6/2484]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Mereka tidak
mendapatkan harta waris karena antara keduanya putus hubungan secara
syar’i. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada nabi
Nuh ‘Alahis Salam menjelaskan anaknya yang kafir dengan firmanNya.
“Artinya : Allah berfirman : “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah
termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatannya) perbuatan yang tidak baik” [Hud : 46]
Selanjutnya Syaikh menjelaskan : Ada dua perkara, bolehnya lain agama
mewarisinya. Pertama : Al-Wala. Yaitu orang yang memerdekakan budak, dia
mendapatkan warisan budak yang telah dimerdekakannya, walaupun lain
agama. Kedua : Kerabat yang kafir lalu masuk Islam sebelum pembagian
harta. Lihat Tashilul Fara’id, hal.22. Tiga macam diatas dinamakan hajib
washaf. Artinya, keberadaannya seperti tidak adanya, karena mereka
tidak mendapat harta waris.
[4]. Al-Muthallaqah Raj’iah Atau Talak Raj’i Yang Telah Habis Masa Iddahnya
Wanita yang sudah habis masa iddahnya, tidak mendapatkan warisan dari
suaminya yang meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya. Tetapi bila
meninggal dunia sebelum habis masa iddahnya, jika salah satunya
meninggal dunia, maka mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Al-Fihul
Islam oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri, hal. 775. Dalilnya ialah.
“Artinya : Dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) ke luar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang”. [At-Thalaq : 1]
Yang dapat diambil pelajaran dari ayat ini, jika isteri dalam masa
iddah, maka statusnya masih isteri sampai keluar masa iddah. Karena itu
si isteri harus tinggal di rumah suami, tidak boleh diusir atau keluar
dari rumah suami, selama masa iddah.
[5]. Al-Muthallaqah Al-Bainah Atau Talak Tiga
Wanita yang dicerai tiga kali dinamakan thalaq ba’in. Bila suami
menceraikannya dalam keadaan sehat, lalu meninggal dunia, maka si isteri
tidak mendapat warisan. Demikian pula sebaliknya. Atau suami dalam
keadaan sakit keras dan tidak ada dugaan menceraikannya karena takut
isteri mengambil warisannya, maka si isteri tidak mendapat warisan pula.
Tetapi bila suami menceraikannya karena bermaksud agar isteri tidak
mendapatkan warisan, maka isteri mendapatkan warisan. Lihat Mukhtashar
Al-Fiqhul Islami, Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri, hal. 775
Apa yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri bagian
akhir ini benar, karena termasuk hailah atau rekayasa untuk menghalangi
hak orang lain. Seperti halnya lima orang yang berserikat memiliki
kambing dan jumlah kambingnya telah mencapai 40 ekor. Tiba waktu
mengeluarkan zakat, mereka membaginya agar terlepas dari kewajiban
mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan hailah (rekayasa) seperti ini,
maka mereka tetap diwajibkan mengeluarkan zakat.
[6]. Al-Laqit Atau Anak Angkat
Dalam hal ini termasuk juga orang tua angkat. Keduanya tidak medapat
warisan bila salah satunya meninggal dunia, sekalipun sama agamanya dan
diakui sebagai anaknya sendiri, atau bapaknya sendiri, sudah memiliki
akte kelahiran dan di catat sebagai anak atau bapak kandung, karena
istilah orang tua dan anak ialah yang satu darah yang disebabkan
pernikahan menurut syar’i. Dalilnya ialah firman Allah.
“Artinya : … Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan” [An-Nisa :176]
[7]. Ibu Tiri Atau Bapak Tiri
Anak tiri tidak mendapatkan warisan bila bapak tiri atau ibu tirinya meninggal dunia.
“Artinya : Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak” [An-Nisa : 11]
[8]. Auladul Li’an Atau Anak Li’an
Apabila suami menuduh isterinya berzina dan bersumpah atas nama Allah
empat kali, bahwa tuduhannya benar, dan sumpah yang kelima disertai
dengan kata-kata “ Laknat Allah atas diriku bila aku berdusta”, kemudian
isterinya juga membalas sumpahnya sebagaimana disebutkan di dalam surat
An-Nur ayat 6, maka anaknya dinamakan anak li’an (tidak diakui oleh
suami), maka anak tersebut tidak mendapat warisan bila yang meli’an
meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya, jika anak tersebut meninggal.
Alasannya, karena anak itu tidak diakui oleh yang meli’an. Anak yang
dili’an hanya mendapatkan harta waris dari ibunya dan sebaliknya.
[9]. Auladuz Zina Atau Anak Yang Lahir Hasil Zina
Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan
harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak
mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena
anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah,
lahir dengan pernikahan syar’i. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatih
(8/256)
Selain keterangan di atas, ada pula ahli waris yang mahjub isqath
terhalang karena ada orang yang lebih kuat dan dekat dengan si mayit.
Misalnya kakek mahjub (tidak mendapatkan harta waris), karena ayah si
mayit masih hidup, atau cucu mahjub karena anak masih hidup, saudara
mahjub dengan anak, bapak dari seterusnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
BILA WARISAN TIDAK MENCUKUPI UNTUK MEMBAYAR HUTANG
Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin
Di dalam kehidupan sehari-harinya seseorang tidak terlepas dari beban
dan tanggungan. Di antara tanggungan yang mungkin menimpanya ialah
hutang. Terutama ketika kondisi yang mendesak dan amat membutuhkan, atau
kondisi-kondisi lainnya. Baik hutang tersebut terkait dengan hak
manusia ataupun yang terkait dengan hak Allah. Islam sebagai agama yang
sempurna telah mengatur masalah ini, sebagaimana telah tertuang dalam
Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun yang terkait hak manusia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri pernah berhutang. Seperti pernah diceritakan oleh Aisyah
Radhiyallahu ‘anha.
“Artinya : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli
makanan dari seorang Yahudi dengan harga pembayaran dibelakang (hutang)
dan memberi jaminan dengan baju besi milik beliau” [Hadits Riwayat
Bukhari 2386 –Fathul Bari- dan Muslim 1603]
Hadits tersebut menunjukkan adanya dalil bolehnya bermuamalah dengan
ahli dzimmah (kafir dzimmi), dan boleh memberi suatu jaminan untuk
hutang di saat mukim.[1]
Meski Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang senantiasa ingin bersegera dalam
membayar hutangnya dan melebihkan pembayarannya. Jabir Radhiyallahu
‘anhu mengisahkan.
“Artinya : Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
beliau di Masjid –Mis’ar (perawi dalam sanad) berkata : Saya kira ia
menyebut waktu Dhuha-. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
hutang kepadaku. Maka beliau melunasinya dan memberiku tambahan”.
[Hadits Riwayat Al-Bukhari 2394 –Fathul Bari- dan Muslim 715]
Demikianlah seharusnya setiap muslim mencontoh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sehingga, hutang yang menjadi tanggungan diri seorang
muslim, hendaknya segera ditunaikan bila telah memiliki harta yang
dapat untuk melunasinya, tidak mengulur-ulurnya, karena hal itu termasuk
bentuk kezhaliman. Hutang ini tetap akan menjadi tanggungannya, sampai
ia mati sekalipun. Jika belum dilunasi, maka ruhnya akan tergantung
sampai terlunasi hutangnya tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Artinya : Penguluran (hutang) oleh orang yang mampu (membayar) adalah
kezhaliman” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2400 –Fathul Bari- dan Muslim
1564]
Beliau Shallalalhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
“Artinya : Jiwa (ruh) seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai
terlunasi” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi 1078 dan Ibnu Majah 2413, dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di
dalam Shahihul Jami’ 6779]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak mau menyalati jenazah
seseorang, karena si mayit tersebut masih memiliki tanggungan hutang.
Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu menuturkan.
“Artinya : Bahwasanya, pernah dihadapkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam seorang jenazah untuk beliau shalati. Lalu beliau bertanya,
“Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab, “Tidak”, maka beliau pun
menyalatinya. Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah yang lain, lalu
beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?”, Mereka menjawab, “Ya” maka
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shalatilah teman kalian
ini oleh kalian”. Abu Qatadah berkata, “Wahai Rasulullah. Saya yang akan
melunasi hutangnya”, maka beliau pun mau menyalatinya” [Hadits Riwayat
Al-Bukhari 2295 –Fathul Bari-]
Jadi, jika seseorang meninggal, di antara hak yang harus ditunaikan
sebelum dilakukan pembagian warisan dari harta yang ditinggalkan untuk
para ahli warisnya ialah melunasi hutang-hutang si mayit bila ia
meninggalkan hutang, baik hutang yang terkait dengan hak Allah maupun
hak manusia. Meskipun ketika melunasi hutang-hutangnya tersebut sampai
menghabiskan seluruh harta yang ditinggalkannya. [2]
Akan tetapi, jika harta si mayit tersebut tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya, maka apa yang harus dilakukan ?
[1]. Jika hutang-hutangnya berkaitan dengan hak manusia, maka dibolehkan
bagi wali mayit untuk meminta pengampunan dari para pemilik harta
hutang atas hutang-hutang si mayit kepada mereka, baik sebagian maupun
keseluruhan. Hal ini terisyaratkan dalam kisah yang dialami oleh Jabir
Radhiyallahu ‘anhu ketika ayahnya terbunuh di medan perang Uhud,
sementara ia menanggung hutang. Dia meminta kepada para pemilik harta
hutang untuk membebaskan sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka menolak
dan tetap berkeinginan untuk mengambil hak mereka. Akhirnya Jabir
Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan
memintanya menyelesaikan masalah tersebut), maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam meminta kepada mereka agar mau meneriman kurma-kurma
yang ada di kebun Jabir Radhiyallahu ‘anhu sebagai pembayarannya, dan
menghalalkan (membebaskan) sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka
menolak. [Lihat Shahih Al-Bukahri, hadits 2395 dan 2405 – Fathul Bari]
Dari kisah diatas terdapat dalil, bahwa wali mayit boleh meminta kepada
para pemilik harta hutang untuk mebebaskan hutang-hutang si mayit. Dan
pemilik harta, boleh membebaskan sebagian atau seluruh hutang si mayit,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththal dan Ibnu Munayyir. [Lihat
Fathul Bari, 3/73]
Dan dari kisah diatas, juga terpahami bahwa bila si mayit tidak memiliki
harta yang cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, maka dilunasi oleh
walinya, atau kerabatnya. Sebagaimana juga disebutkan dalam hadits yang
dituturkan Sa’ad bin Athwal Radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya.
“Artinya : Sesungguhnya saudaramu tertahan (ruhnya) karena hutangnya,
maka lunasilah hutangnya”. Kemudian Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah.
Aku telah melunasi semuanya, kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang
wanita, sementara dia tidak punya bukti”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, “Berilah dia, karena dia berhak” [Hadits Riwayat Ibnu
Majah, 2433, Ahmad 5/7 dan Al-Baihaqi 10/142. Dan dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah] [3]
[2]. Namun, jika tidak ada seorangpun dari keluarga atau kerabat mayit
yang bisa melunasi hutang-hutangnya, maka negara atau pemerintah yang
menanggung pelunasan hutangnya, [4] diambilkan dari Baitul Mal.
Dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.sebagai pemimpin kaum muslimin.
“Artinya : Aku lebih berhak menolong kaum Mukminin dari diri mereka
sendiri. Jika ada seseorabng dari kaum Mukminin yang meninggal, dan
meninggalkan hutang maka aku yang akan melunasinya…” [Hadits Riwayat
Al-Bukhari 2298 –Fathul Bari- dan Muslim 1619 dari Abu Haurairah
Radhiyallahu ‘anhu]
Maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah, akan melunasinya dari
harta Baitul Mal, yang terdiri dari ghanimah (harta rampasan perang),
jizyah (dari orang kafir yang berada dalam naungan kaum Muslimin), infak
atau shadaqah serta zakat. [5]
Sebagiamana yang dipahami dari pekataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu (di saat ia tidak mampu melunasi
hutang-hutang ayahnya yang wafat dalam keadaan meninggalkan hutang).
“Artinya : Kalaulah telah datang harta (jizyah) dari Bahrain, niscaya
aku memberimu sekian dan sekian” [Hadits Riwayat Al-Bukahri 2296 –Fathul
Bari- dan Muslim 2314]
Dan jika negara atau pemerintah tidak menanggungnya, kemudian ada
diantara kaum Muslimin yang siap menanggungnya, maka hal itu dibolehkan
sebagaimana kandungan hadits Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu di
atas. Hal itu memberi pelajaran bahwa mayit dapat memperoleh dengan
dilunasinya hutang-hutangnya, meskipun oleh selain anaknya. Dengan
demikian berarti akan membebaskannya dari adzab. [6]
Berbeda halnya dengan shadaqah, karena si mayit bisa memperoleh manfaat
dan pahala dari shadaqah atas nama dirinya yang dilakukan oleh anaknya
saja. Sebab anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan bahwasanya, seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” [An-Najm : 39]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya, sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang ialah
dari hasil usahanya sendiri. Dan anaknya, termasuk dari hasil usahanya”
[Hadits Riwayat Abu Dawud 3528, An-Nasa’i 4449 dan 4451, At-Tirmidzi
1358 –dengan lafazh jamak- Ibnu Majah 2137. Dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Al-Jami 2208 dan tahqiq Misykatul Mashabih 2770]
[7]
[3]. Jika hutang si mayit berkaitan dengan hak Allah seperti nadzar
haji, maka wajib ditunaikan oleh si mayit dengan harta si mayit bila
mencukupi. Sedangkan bila harta si mayit tidak mencukupi ketika
wafatnya, maka ditanggung oleh walinya yang akan menghajikan untuk si
mayit, sebagaimana kandungan dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu,
bahwa pernah ada seorang wanita dari bani Juhainah datang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata :
“Artinya : Sesungguhnya ibuku telah bernadzar haji, tetapi belum berhaji
sampai meninggalnya, apakah aku harus menghajikan untuknya?” Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, hajikanlah untuknya.
Bukankah jika ibumu menanggung hutang maka kamu yang akan melunasinya?
Tunaikanlah hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan”
[Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852- Fathul Bari]
[4]. Jika ia memiliki hutang yang berkaitan dengan hak Allah dan hak manusia, manakah yang lebih dahulu ditunaikan?
Dalam permasalahan ini, para ulama berbebda pendapat dalam tiga kelompok.[8]
Pertama : Harta si mayit yang ada dibagikan untuk hutang-hutang tersebut
dengan masing-masing mendapat jatah bagian berdasarkan nisbah
(prosentase), seperti pada kejadian seorang yang mengalami kebangkrutan,
pailit (muflis), (yaitu) ketika dia menanggung hutang-hutang yang
melampaui harta miliknya. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hambali.
Kedua : Diutamakan hutang-hutang yang berkait dengan hak manusia, dengan
mempertimbangkan oleh sifat asal manusia yang bakhil (tidak memaafkan).
Adapun hak Allah dibangun atas dasar sifat Allah yang suka memaafkan.
Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki.
Ketiga : Yang benar adalah diutamakan hak Allah daripada hak manusia,
berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu di atas, yaitu
ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tunaikan hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk
ditunaikan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852 –Fathukl Bari-] [9]
Pendapat ketiga ini merupan pendapat ulama madzhab Syafi’i. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
Foote Note
[1]. Lihat Syarhu Shahih Muslim 11/33
[2]. Lihat juga Ahkamul Janaiz, hal. 25
[3]. Lihat Ahkamul Janaiz hal.25-26
[4]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 25
[5]. Lihat Fathul Bari 4/558. Dan lihat perbedaan pendapat dalam masalah ini dalam Syarh Shahih Muslim 11/52
[6]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal 28
[7]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal.16
[8]. Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah, hal.26
[9]. Lihat Nailul Authar 4/286-287.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar