Jalin Silaturahmi Untuk Komunikasi Dan Berbagi Informasi

Telusur

Kamis, 26 Juli 2012

Ilmu Waris (Mawarits)

Share
ILMU MAWARITS, HUKUM YANG TERABAIKAN

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro

PENTINGNYA ILMU MAWARITS
Jika hukum-hukum syari’at, seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya dijelaskan secara global oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu diperinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah, sedangkan hukum mawarits diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara terperinci di dalam Al-Qur’an.

Sebagai contoh, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…” [Al-Baqarah : 43] atau :”Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu” [Ali-Imran : 97], baru kemudian Sunnah menjelaskan tata caranya dengan detail.

Adapun pembagian harta warisan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di awal dan di akhir surat An-Nisa. Allah sendiri yang langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorangpun yang boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana.

SEKILAS PERBANDINGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN ANTARA ADAT JAHILIYAH DENGAN ISLAM
Pada zaman Arab Jahiliyah dahulu, harta warisan berpindah ke tangan anak sulung si mayit, atau kepada saudaranya atau pamannya sepeninggalnya. Mereka tidak memberikan kepada wanita dan anak-anak. Alasan mereka, karena wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak bisa berperang.

Sebagaimana yang berlaku pada kedua putri Sa’ad bin Rabi Radhiyallahu ‘anhu, bahwa paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka. Ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pamannya tersebut untuk memberi kemenakannya dua pertiga, dan ibu mereka seperdelapan, dan sisanya barulah dia ambil.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyah menjadikan seluruh pembagian kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk berbagi sama dalam pembagian, kemudian melebihkan di antara dua kelompok dengan menjadikan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu, karena laki-laki menangggung biaya nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha, serta menanggung kesusahan, Maka, layak dia memperoleh dua kali lipat dari bagian perempuan” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/433]

Pada sebagian suku di Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada ibu, misalnya di Minangkabau, mereka memberlakukan pembagian harta warisan kepada perempuan. Karena tugas yang semestinya diemban oleh laki-laki, ternyata harus dibebankan kepada perempuan, mulai dari pengasuhan orang tua ketika lanjut usia, sampai pada pemberian uang saku untuk kemenakan dan famili.

Karena itu, suami dianjurkan (baca : diharuskan) tinggal di rumah orang tua perempuan. Dan merupakan aib bagi suami, jika ia tinggal satu rumah dengan orang tuanya sendiri, jika memang terpaksa harus tinggal di rumah orang tua. Bahkan di sebagian daerah Minang, laki-laki dibeli dengan uang sebagaimana dibelinya barang. Setelah itu, sang suami harus lebih banyak bertandang ke rumah orang tua isteri dari pada ke rumah orang tuanya sendiri.

Fakta seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab yang menempatkan laki-laki sangat dominan dan diuntungkan. Dan sebaliknya, pada adat Minang ini, laki-laki selalu dirugikan. Dikatakan oleh seorang ulama Minang, Buya Hamka rahimahullah dalam salah satu karangannya :”Jika ada laki-laki yang paling sengsara, maka dialah laki-laki Minang. Bagaimana tidak, sewaktu dia masih kecil yang seharusnya dia mendapatkan nasihat dan keputusan dari orang tuanya dalam semua urusannya dari sekolah hingga menikah, itu semua diambil alih oleh mamaknya (paman dari pihak ibu), ketika dia telah menikah dia menjadi semanda di rumahnya sendiri, yang duduk harus di bawah dan di tepi-tepi, ketika sudah tua renta dan mulai pula sakit-sakitan, dia harus siap-siap untuk menyingkir karena pembagian rumah dan harta hanya untuk anak perempuan, maka terpaksalah dia tidur di surau dan kalau makan harus pergi ke lapau (kedai nasi)”

Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan mengusung isu persamaan gender yang awalnya didengungkan para orientalis barat, kemudian di negeri kita dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang sekulit dan satu bahasa dengan kita. Pendapat aneh tersebut ialah, tentang pembagian mawarits harus disama-ratakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan –menurut mereka- tidak adil. Pendapat seperti ini telah lama dan banyak dilontarkan tokoh-tokoh Islam yang terkontaminasi oleh pemikiran orientalis, yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh kelompok yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal.

Tentu saja, anggapan aneh seperti diatas tidak terbukti. Karena syari’at Islam memberlakukan keadilan dan keseimbangan, dia sampaikan semua hak kepada pemiliknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi setiap yang mempunyai hak akan haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris” [Hadis Riwayat Abu Dawud 3565, Tirmidzi 2/16, Ibnu Majah 2713, Baihaqi 6/264, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata “sanadnya hasan”]

Jika adat jahiliyah di luar syariat Islam hanya melihat kemaslahatan orang-orang kuat, maka Islam menjaga kemaslahatan orang-orang lemah, karena mereka yang layak dikasihi dan dilindungi. Disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada engkau biarkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia” [Hadist Riwayat Bukhari, Bab Wasiat/2, dan Muslim, Bab Wasiat/5]

Islam juga tidak mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan yang lemah. Setiap orang yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada penghalang yang menghalanginya, maka dia berhak memperoleh warisan, baik dia besar maupun kecil, laki-laki maupun perempuan, lemah maupun kuat.

Jika adat jahiliyah hanya mendahulukan kepentingan orang yang dapat memberikan manfaat, tidak akan mendapatkan warisan kecuali yang ikut serta dalam berperang dan menjaga kehormatan, atau yang menjaga orang tua dan yang menjaga tanah persukuan, maka dalam Islam tidak menapikan andil yang lain. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan, ayah-ayah kalian dan anak-anak kalian tidak akan mengetahui mana yang lebih banyak manfaatnya. Lihat An-Nisa ayat 11

Dari paparan sekilas ini, kita dapat menyimpulkan ciri khas pembagian mawarits dalam Islam sebagaimana berikut.

[1]. Ketetapan warisan merupakan peraturan yang bersifat sosial dan mengikat bagi siapa saja yang telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Muhammad sebagai rasul.

[2]. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menempatkan setiap pemilik hak pada posisinya yang layak.

[3]. Dengan pembagian yang adil sesuai syariat tersebut, berarti Islam telah berusaha memperkuat jalinan persaudaraan dan memperkokohnya dengan tali silaturrahim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :” Dan orang-orang yang punya jalinan darah sebagian mereka lebih berhak dari sebagian yang lainnya, merupakan ketetapan dalam Kitab Allah”. Lihat Al-Qur’an surat Al-Anfaal ayat 75

[4].Islam sangat mempedulikan kepemilikan individu, sehingga mendorong seseorang untuk berusaha sekuat tenaga, dengan harapan orang-orang yang dia cintai akan ikut merasakan manisnya hasil usahanya tersebut. Hal seperti ini tidak didapatkan pada masa jahiliyah Arab dan hukum adapt.

[5]. Pembagian harta waris berdasarkan kebutuhan. Semakin seseorang membutuhkan kepada harta warisan, semakin banyak pula dia memperolehnya. Oleh karena itu, laki-laki memperoleh bagian lebih besar, karena laki-laki lebih membutuhkannya daripada perempuan.

ANCAMAN JIKA TIDAK MENGGUNAKAN HUKUM ISLAM DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Orang yang tidak memakai hukum mawarits dalam pembagian hartanya, sama halnya dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ancaman terhadap mereka sama dengan ancaman terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Maidah : 44]

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhallim” [Al-Maidah : 45]

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [Al-Maidah : 47]

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Pernyataan tegas (dalam permasalahan ini) ialah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai pengingkaran, sedangkan ia mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hukum tersebut, sebagaimana yang diperbuat oleh Yahudi, maka dia telah kufur. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala karena lebih condong kepada hawa nafsu tanpa pengingkaran (terhadap hukum tersebut), maka dia telah berbuat zhalim atau fasik” [Zadul Masir 2/366]

Dalam masalah pembagian harta waris, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ancaman bagi orang yang menetapkan pembagian harta waris apabila tidak berdasarkan hukum Allah. Allah Suhanahu wa Ta’ala berfirman setelah ayat mawarits.

“Artinya ; (Hukum-hukum mawarits tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa 13-14]

Ayat di atas menerangkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang yang membagi harta waris sesuai ketentuannya. Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam setiap orang yang melampaui batas, tidak memperdulikan atau berpaling, dan menambah atau mengurangi dengan adzab yang sangat pedih.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasuluillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :”Seseorang beramal dengan amal orang yang shalih selamah tujuh puluh tahun. Kemudian ketika berwasiat, ia melakukan kezhaliman dalam wasiatnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup amalannya dengan seburuk-buruk amalan, hingga membuatnya masuk neraka. Dan sesungguhnya, seseorang beramal dengan amal orang fasik selama tujuh puluh tahun, kemudian dia berlaku adil dalam wasiatnya, niscaya ia dapat menutup amalnya dengan amal yang terbaik, sehingga dia masuk surga” Abu Hurairah berkata : “bacalah kalau kalian mau”. Kemudian beliau membaca ayat di atas. [Hadits riwayat Abu Dawud, 2867, Ibnu Majah 22/3/2703 dan Ahmad /447/7728. Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya Shahih”]

Demikian secara singkat pembahasan ilmu mawarits yang sangat penting bagi kaum Muslimin. Sebagi pengingat, supaya kita tidak melalaikannya. Dan mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
______
Maraji.
[1]. Tafsir Al-Qur’anul Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam
[2]. Tafsir Zadul Masir, Ibnu Jauzi
[3]. Irwa’ul Ghalil Fi Takhrijil Manaris Sabil, Al-Albani, Al-Maktabul Islami
[4]. At-Tahqiqatul Mardhiah Fil Mabahits Al-Faradhiyah, Shalih Al-fauzan, Maktabah Al-Ma’arif
[5]. Tashil Al-Mawarits wal Washaya, Abdul Karim Muhammad Nashr, Maktabah Haramain


 Batasan Wasiat Dengan Sepertiga Bagian Warisan
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kenapa tidak boleh mewasiatkan warisan lebih dari sepertiganya ?
Jawaban.
Dilarangnya mewasiatkan warisan lebih dari sepertiganya, karena hak ahli waris tergantung pada harta warisan. Jika dibolehkan mewasiatkan lebih dari sepertiganya, maka akan masuk hak-hak mereka. Karena itulah ketika Sa’ad bin Abi Waqash meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mewasiatkan dua pertiga hartanya beliau berkata, “Tidak boleh”, Lalu Sa’ad berkata, “Setengahnya”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Tidak boleh”, Lalu Sa’ad berkata lagi, “Kalau begitu sepertiganya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sepertiganya. Sepertiganya itu cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga meminta-minta kepada orang lain” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, kitab Al-Janaiz no. 1295, dan Muslim, kitab Al-Washiyyah no. 1628]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menegaskan dalam hal ini tentang hikmah dilarangnya wasiat melebihi sepertiganya. Karena itu, jika ia mewasiatkan lebih dari sepertiganya lalu para ahli warisnya mengizinkan, maka hal itu tidak apa-apa. [Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 559]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 521-522, Darul Haq] 


  PEMBAGIAN HARTA WARIS


Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2


Problema keluarga sehubungan dengan pembagian harta waris atau pusaka, akan bertambah rumit manakala diantara para ahli waris ingin menguasai harta peninggalan, sehingga berdampak merugikan orang lain. Tak ayal, permusuhan antara satu dengan lainnya sulit dipadamkan. Akhirnya solusi yang ditawarkan dalam pembagian waris tersebut ialah dengan dibagi sama rata. Atau ada juga yang menyelesaikannya di meja pengadilan dan upaya lainnya.

Sebagai kaum Muslimin, sesungguhnya untuk menyelesaikan permasalahan waris ini, sehingga persaudaraan di dalam keluarga tetap terjaga dengan baik, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah penulis ingin menyampaikan perkara ini. Meski singkat, kami berharap semoga bermanfaat.


SIAPAKAH YANG BERWENANG MEMBAGI HARTA WARIS?
Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak, keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan hambaNya.

“Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan…”[An-Nisa : 11]

“Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan…” [An-Nisa : 176]

Sebab turun ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini”? Lalu turunlah ayat An-Nisa ayat 11. Lihat Fathul Baari 8/91, Shahih Muslim 3/1235, An-Nasa’i Fil Kubra 6/320

Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata, datang isteri Sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dua putri Sa’ad. Dia (isteri Sa’ad) bertanya :”Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum menikah….”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Lalu turunlah ayat waris.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil paman anak ini, sambil bersabda : “Bagikan kepada dua putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan ibunya seperdelapan Sedangkan sisanya untuk engkau”[Hadits Riwayat Ahmad, 3/352, Abu Dawud 3/314, Tuhwatul Ahwadzi 6/267, dan Ibnu Majah 2/908,Al-Hakim 4/333,Al-Baihaqi 6/229. Dihasankan oleh Al-Albani. Lihat Irwa 6/122]

Berdasarkan keterangan diatas jelaslah, bahwa yang berwenang dan berhak membagi waris, tidak lain hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Allah mempertegas dengan firmanNya : “Ini adalah ketetapan dari Allah”. Dan firmanNya : “Itu adalah ketentuan Allah”. Lihat surat An-Nisa ayat 11,13, dan 176.

Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti adil. Dan pembagiannya sudah jelas yang berhak menerimanya..Oleh sebab itu, mempelajari ilmu fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga, sehingga selamat dari memakan harta yang haram.

Berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan pembagian harta waris ini untuk kaum laki-laki dan perempuan. Allah berfirman.

“Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” [An-Nisa : 7]

Dalil pembagian harta waris secara terperinci dapat dibaca dalam surat An-Nisa ayat 11-13 dan 176.

BARANG YANG DIANGGAP SEBAGAI PENINGGALAN HARTA WARIS
Dalam ilmu fara’idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit. Lihat Fiqhul Islam Wa Adillatih 8/270.

Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata : “At-Tarikah ialah, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi. Lihat kitab Al-Mualim Fil Fara’idh hal.119

Adapun barang tidak berhak diwaris, diantaranya:

[1]. Peralatan tidur untuk isteri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada isterinya semasa hidupnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/429

[2]. Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/466

[3]. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya, atau diserahkan kepada yang berwajib. Lihat keterangannya di dalam kitab Al-Muntaqa Min Fatawa, Dr Shalih Fauzan 5/238

Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut.

[1]. Mu’nat Tajhiz Atau Perawatan Jenazah
Kebutuhan perawatan jenazah hingga penguburannya. Misalnya meliputi pembelian kain kafan, upah penggalian tanah, upah memandikan, bahkan perawatan selama dia sakit. Semua biaya ini diambilkan dari harta si mayit sebelum dilakukan hal lainnya. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dan kafanillah dia dengan dua pakaianya” [Hadits Riwayat Bukhari 2/656, Muslim 2/866] Maksudnya, peralatan dan perawatan jenazah diambilkan dari harta si mayit.

[2]. Al-Huquq Al-Muta’aliqah Bi Ainit Tarikah Atau Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Waris.
Misalnya barang yang digadaikan oleh mayit, hendaknya diselesaikan dengan menggunakan harta si mayit, sebelum hartanya di waris. Bahkan menurut Imam Syafi’i, Hanafi dan Malik. Didahulukan hak ini sebelum kebutuhan perawatan jenazah, karena berhubungan dengan harta si mayit. Lihat Fiqhul Islami wa Adillatihi 8/274. Tas-hil Fara’idh, 9. Dalilnya ialah, karena perkara ini termasuk hutang yang harus diselesaikan oleh si mayit sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 12, yaitu : “Sesudah dibayar hutangnya”.

[3]. Ad-Duyun Ghairu Al-Muta’aliqah Bit Tarikah Atau Hutang Si Mayit
Apabila si mayit mempunyai hutang, baik yang behubungan dengan berhutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti membayar zakat dan kafarah, atau yang berhubungan dengan anak Adam, seperti berhutang kepada orang lain, pembayaran gaji pegawainya, barang yang dibeli belum dibayar, melunasi pembayaran, maka sebelum diwaris, harta si mayit diambil untuk melunasinya. Dalilnya ialah.

“Artinya : Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris)” [An-Nisa : 12]

[4]. Tanfidzul Wasiyyah Atau Menunaikan Wasiat
Sebelum harta diwaris, hendaknya diambil untuk menunaikan wasiat si mayit, bila wasiat itu bukan untuk ahli waris, karena ada larangan hal ini, dan bukan wasiat yang mengandung unsur maksiat, karena ada larangan mentaati perintah maksiat. Wasiat ini tidak boleh melebihi sepertiga, karena merupakan larangan. Dalilnya, lihat surat An-Nisa ayat 12 yaitu : “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat”.

Jika empat perkara di ats telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir, sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]


ORANG YANG TIDAK BERHAK MENDAPAT HARTA WARIS
Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron


[1]. Ar-Riqqu Atau Hamba Sahaya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Budak adalah manusia yang tidak memiliki wewenang sendiri, tetapi dia dimiliki, boleh dijual, boleh dihibahkan dan diwaris. Dia dikuasai dan tidak memiliki kekuasaan. Adapun (yang menjadi) sebab dia tidak mendapatkan warisan, karena Allah membagikan harta waris kepada orang yang berwenang memiliki sesuatu, sedangkan dia (budak) tidak memiliki wewenang.

Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Dan barangsiapa membeli budak sedangkan budak itu memiliki harta, maka hartanya milik si penjual, kecuali bila pembeli membuat syarat” [Hadits Riwayat Bukhari 2/838 dan Muslim 3/1173]

Selanjutnya beliau berkata : Jika dia tidak berhak memiliki, maka tidak berhak mewarisi, sebab bila dia mewarisi, maka akan beralih kepemilikannya kepada pemiliknya. [Lihat Tashilul Fara’id : 21]

[2]. Al-Qatil Atau Membunuh Orang Yang Akan Mewariskan
Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh orang yang akan mewariskan, misalnya ada anak yang tidak sabar menanti warisan ayahnya, sehingga ia membunuh ayahnya, maka anak tersebut tidak berhak mengambil pusaka ayahnya. Untuk lebih jelasnya, lihat Muhtashar Al-Fiqhul Islami, hal. 774 oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri.

Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris” [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/288, Ibnu Majah 2/883, Hadits Shahih Lihat Al-Irwa’, hal. 1672]

Adapun pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat harta waris. Lihat Sunan Tirmidzi (3/288). Sedangkan jumhur ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta waris, baik dengan sengaja atau tidak . Lihat Sunan Tirmidzi (3/288).

Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja tidak berdosa apabila pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka tidaklah menghalangi pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang dibunuh., karena tujuannya untuk membela diri. Demikian juga, misalnya pembunuhan yang disebabkan karena mengobati atau semisalnya, maka tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan harta waris, selagi dia diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”. Lihat Tashilul Fara’id, hal. 21-22

[3]. Ikhtilaffud Din Atau Berlainan Agama Dan Murtad
Ahli waris lain agama, misalnya yang meninggal dunia orang Yahudi, sedangkan ahli warisnya Muslim, maka ahli waris yang Muslim tersebut tidak boleh mewarisi hartanya. Dan demikian juga sebaliknya.

Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu berkata sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak boleh orang Muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi harta orang Muslim” [Hadits Riwayat Bukhari 6/2484]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Mereka tidak mendapatkan harta waris karena antara keduanya putus hubungan secara syar’i. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada nabi Nuh ‘Alahis Salam menjelaskan anaknya yang kafir dengan firmanNya.

“Artinya : Allah berfirman : “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik” [Hud : 46]

Selanjutnya Syaikh menjelaskan : Ada dua perkara, bolehnya lain agama mewarisinya. Pertama : Al-Wala. Yaitu orang yang memerdekakan budak, dia mendapatkan warisan budak yang telah dimerdekakannya, walaupun lain agama. Kedua : Kerabat yang kafir lalu masuk Islam sebelum pembagian harta. Lihat Tashilul Fara’id, hal.22. Tiga macam diatas dinamakan hajib washaf. Artinya, keberadaannya seperti tidak adanya, karena mereka tidak mendapat harta waris.

[4]. Al-Muthallaqah Raj’iah Atau Talak Raj’i Yang Telah Habis Masa Iddahnya
Wanita yang sudah habis masa iddahnya, tidak mendapatkan warisan dari suaminya yang meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya. Tetapi bila meninggal dunia sebelum habis masa iddahnya, jika salah satunya meninggal dunia, maka mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Al-Fihul Islam oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri, hal. 775. Dalilnya ialah.

“Artinya : Dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. [At-Thalaq : 1]

Yang dapat diambil pelajaran dari ayat ini, jika isteri dalam masa iddah, maka statusnya masih isteri sampai keluar masa iddah. Karena itu si isteri harus tinggal di rumah suami, tidak boleh diusir atau keluar dari rumah suami, selama masa iddah.

[5]. Al-Muthallaqah Al-Bainah Atau Talak Tiga
Wanita yang dicerai tiga kali dinamakan thalaq ba’in. Bila suami menceraikannya dalam keadaan sehat, lalu meninggal dunia, maka si isteri tidak mendapat warisan. Demikian pula sebaliknya. Atau suami dalam keadaan sakit keras dan tidak ada dugaan menceraikannya karena takut isteri mengambil warisannya, maka si isteri tidak mendapat warisan pula. Tetapi bila suami menceraikannya karena bermaksud agar isteri tidak mendapatkan warisan, maka isteri mendapatkan warisan. Lihat Mukhtashar Al-Fiqhul Islami, Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri, hal. 775

Apa yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri bagian akhir ini benar, karena termasuk hailah atau rekayasa untuk menghalangi hak orang lain. Seperti halnya lima orang yang berserikat memiliki kambing dan jumlah kambingnya telah mencapai 40 ekor. Tiba waktu mengeluarkan zakat, mereka membaginya agar terlepas dari kewajiban mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan hailah (rekayasa) seperti ini, maka mereka tetap diwajibkan mengeluarkan zakat.

[6]. Al-Laqit Atau Anak Angkat
Dalam hal ini termasuk juga orang tua angkat. Keduanya tidak medapat warisan bila salah satunya meninggal dunia, sekalipun sama agamanya dan diakui sebagai anaknya sendiri, atau bapaknya sendiri, sudah memiliki akte kelahiran dan di catat sebagai anak atau bapak kandung, karena istilah orang tua dan anak ialah yang satu darah yang disebabkan pernikahan menurut syar’i. Dalilnya ialah firman Allah.

“Artinya : … Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan” [An-Nisa :176]

[7]. Ibu Tiri Atau Bapak Tiri
Anak tiri tidak mendapatkan warisan bila bapak tiri atau ibu tirinya meninggal dunia.

“Artinya : Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak” [An-Nisa : 11]

[8]. Auladul Li’an Atau Anak Li’an
Apabila suami menuduh isterinya berzina dan bersumpah atas nama Allah empat kali, bahwa tuduhannya benar, dan sumpah yang kelima disertai dengan kata-kata “ Laknat Allah atas diriku bila aku berdusta”, kemudian isterinya juga membalas sumpahnya sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nur ayat 6, maka anaknya dinamakan anak li’an (tidak diakui oleh suami), maka anak tersebut tidak mendapat warisan bila yang meli’an meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya, jika anak tersebut meninggal. Alasannya, karena anak itu tidak diakui oleh yang meli’an. Anak yang dili’an hanya mendapatkan harta waris dari ibunya dan sebaliknya.

[9]. Auladuz Zina Atau Anak Yang Lahir Hasil Zina
Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar’i. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatih (8/256)

Selain keterangan di atas, ada pula ahli waris yang mahjub isqath terhalang karena ada orang yang lebih kuat dan dekat dengan si mayit. Misalnya kakek mahjub (tidak mendapatkan harta waris), karena ayah si mayit masih hidup, atau cucu mahjub karena anak masih hidup, saudara mahjub dengan anak, bapak dari seterusnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]



BILA WARISAN TIDAK MENCUKUPI UNTUK MEMBAYAR HUTANG

Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin

Di dalam kehidupan sehari-harinya seseorang tidak terlepas dari beban dan tanggungan. Di antara tanggungan yang mungkin menimpanya ialah hutang. Terutama ketika kondisi yang mendesak dan amat membutuhkan, atau kondisi-kondisi lainnya. Baik hutang tersebut terkait dengan hak manusia ataupun yang terkait dengan hak Allah. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur masalah ini, sebagaimana telah tertuang dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun yang terkait hak manusia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berhutang. Seperti pernah diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha.

“Artinya : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga pembayaran dibelakang (hutang) dan memberi jaminan dengan baju besi milik beliau” [Hadits Riwayat Bukhari 2386 –Fathul Bari- dan Muslim 1603]

Hadits tersebut menunjukkan adanya dalil bolehnya bermuamalah dengan ahli dzimmah (kafir dzimmi), dan boleh memberi suatu jaminan untuk hutang di saat mukim.[1]

Meski Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang senantiasa ingin bersegera dalam membayar hutangnya dan melebihkan pembayarannya. Jabir Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan.

“Artinya : Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau di Masjid –Mis’ar (perawi dalam sanad) berkata : Saya kira ia menyebut waktu Dhuha-. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki hutang kepadaku. Maka beliau melunasinya dan memberiku tambahan”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2394 –Fathul Bari- dan Muslim 715]

Demikianlah seharusnya setiap muslim mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, hutang yang menjadi tanggungan diri seorang muslim, hendaknya segera ditunaikan bila telah memiliki harta yang dapat untuk melunasinya, tidak mengulur-ulurnya, karena hal itu termasuk bentuk kezhaliman. Hutang ini tetap akan menjadi tanggungannya, sampai ia mati sekalipun. Jika belum dilunasi, maka ruhnya akan tergantung sampai terlunasi hutangnya tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Penguluran (hutang) oleh orang yang mampu (membayar) adalah kezhaliman” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2400 –Fathul Bari- dan Muslim 1564]

Beliau Shallalalhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

“Artinya : Jiwa (ruh) seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai terlunasi” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi 1078 dan Ibnu Majah 2413, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 6779]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak mau menyalati jenazah seseorang, karena si mayit tersebut masih memiliki tanggungan hutang. Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu menuturkan.

“Artinya : Bahwasanya, pernah dihadapkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang jenazah untuk beliau shalati. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab, “Tidak”, maka beliau pun menyalatinya. Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah yang lain, lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?”, Mereka menjawab, “Ya” maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shalatilah teman kalian ini oleh kalian”. Abu Qatadah berkata, “Wahai Rasulullah. Saya yang akan melunasi hutangnya”, maka beliau pun mau menyalatinya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2295 –Fathul Bari-]

Jadi, jika seseorang meninggal, di antara hak yang harus ditunaikan sebelum dilakukan pembagian warisan dari harta yang ditinggalkan untuk para ahli warisnya ialah melunasi hutang-hutang si mayit bila ia meninggalkan hutang, baik hutang yang terkait dengan hak Allah maupun hak manusia. Meskipun ketika melunasi hutang-hutangnya tersebut sampai menghabiskan seluruh harta yang ditinggalkannya. [2]

Akan tetapi, jika harta si mayit tersebut tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya, maka apa yang harus dilakukan ?

[1]. Jika hutang-hutangnya berkaitan dengan hak manusia, maka dibolehkan bagi wali mayit untuk meminta pengampunan dari para pemilik harta hutang atas hutang-hutang si mayit kepada mereka, baik sebagian maupun keseluruhan. Hal ini terisyaratkan dalam kisah yang dialami oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu ketika ayahnya terbunuh di medan perang Uhud, sementara ia menanggung hutang. Dia meminta kepada para pemilik harta hutang untuk membebaskan sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka menolak dan tetap berkeinginan untuk mengambil hak mereka. Akhirnya Jabir Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan memintanya menyelesaikan masalah tersebut), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada mereka agar mau meneriman kurma-kurma yang ada di kebun Jabir Radhiyallahu ‘anhu sebagai pembayarannya, dan menghalalkan (membebaskan) sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka menolak. [Lihat Shahih Al-Bukahri, hadits 2395 dan 2405 – Fathul Bari]

Dari kisah diatas terdapat dalil, bahwa wali mayit boleh meminta kepada para pemilik harta hutang untuk mebebaskan hutang-hutang si mayit. Dan pemilik harta, boleh membebaskan sebagian atau seluruh hutang si mayit, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththal dan Ibnu Munayyir. [Lihat Fathul Bari, 3/73]

Dan dari kisah diatas, juga terpahami bahwa bila si mayit tidak memiliki harta yang cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, maka dilunasi oleh walinya, atau kerabatnya. Sebagaimana juga disebutkan dalam hadits yang dituturkan Sa’ad bin Athwal Radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya.

“Artinya : Sesungguhnya saudaramu tertahan (ruhnya) karena hutangnya, maka lunasilah hutangnya”. Kemudian Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah. Aku telah melunasi semuanya, kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang wanita, sementara dia tidak punya bukti”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah dia, karena dia berhak” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, 2433, Ahmad 5/7 dan Al-Baihaqi 10/142. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah] [3]

[2]. Namun, jika tidak ada seorangpun dari keluarga atau kerabat mayit yang bisa melunasi hutang-hutangnya, maka negara atau pemerintah yang menanggung pelunasan hutangnya, [4] diambilkan dari Baitul Mal.

Dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.sebagai pemimpin kaum muslimin.

“Artinya : Aku lebih berhak menolong kaum Mukminin dari diri mereka sendiri. Jika ada seseorabng dari kaum Mukminin yang meninggal, dan meninggalkan hutang maka aku yang akan melunasinya…” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2298 –Fathul Bari- dan Muslim 1619 dari Abu Haurairah Radhiyallahu ‘anhu]

Maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah, akan melunasinya dari harta Baitul Mal, yang terdiri dari ghanimah (harta rampasan perang), jizyah (dari orang kafir yang berada dalam naungan kaum Muslimin), infak atau shadaqah serta zakat. [5]

Sebagiamana yang dipahami dari pekataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu (di saat ia tidak mampu melunasi hutang-hutang ayahnya yang wafat dalam keadaan meninggalkan hutang).

“Artinya : Kalaulah telah datang harta (jizyah) dari Bahrain, niscaya aku memberimu sekian dan sekian” [Hadits Riwayat Al-Bukahri 2296 –Fathul Bari- dan Muslim 2314]

Dan jika negara atau pemerintah tidak menanggungnya, kemudian ada diantara kaum Muslimin yang siap menanggungnya, maka hal itu dibolehkan sebagaimana kandungan hadits Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu di atas. Hal itu memberi pelajaran bahwa mayit dapat memperoleh dengan dilunasinya hutang-hutangnya, meskipun oleh selain anaknya. Dengan demikian berarti akan membebaskannya dari adzab. [6]

Berbeda halnya dengan shadaqah, karena si mayit bisa memperoleh manfaat dan pahala dari shadaqah atas nama dirinya yang dilakukan oleh anaknya saja. Sebab anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan bahwasanya, seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” [An-Najm : 39]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya, sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang ialah dari hasil usahanya sendiri. Dan anaknya, termasuk dari hasil usahanya” [Hadits Riwayat Abu Dawud 3528, An-Nasa’i 4449 dan 4451, At-Tirmidzi 1358 –dengan lafazh jamak- Ibnu Majah 2137. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami 2208 dan tahqiq Misykatul Mashabih 2770] [7]

[3]. Jika hutang si mayit berkaitan dengan hak Allah seperti nadzar haji, maka wajib ditunaikan oleh si mayit dengan harta si mayit bila mencukupi. Sedangkan bila harta si mayit tidak mencukupi ketika wafatnya, maka ditanggung oleh walinya yang akan menghajikan untuk si mayit, sebagaimana kandungan dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah ada seorang wanita dari bani Juhainah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata :

“Artinya : Sesungguhnya ibuku telah bernadzar haji, tetapi belum berhaji sampai meninggalnya, apakah aku harus menghajikan untuknya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, hajikanlah untuknya. Bukankah jika ibumu menanggung hutang maka kamu yang akan melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852- Fathul Bari]

[4]. Jika ia memiliki hutang yang berkaitan dengan hak Allah dan hak manusia, manakah yang lebih dahulu ditunaikan?

Dalam permasalahan ini, para ulama berbebda pendapat dalam tiga kelompok.[8]

Pertama : Harta si mayit yang ada dibagikan untuk hutang-hutang tersebut dengan masing-masing mendapat jatah bagian berdasarkan nisbah (prosentase), seperti pada kejadian seorang yang mengalami kebangkrutan, pailit (muflis), (yaitu) ketika dia menanggung hutang-hutang yang melampaui harta miliknya. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hambali.

Kedua : Diutamakan hutang-hutang yang berkait dengan hak manusia, dengan mempertimbangkan oleh sifat asal manusia yang bakhil (tidak memaafkan). Adapun hak Allah dibangun atas dasar sifat Allah yang suka memaafkan. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki.

Ketiga : Yang benar adalah diutamakan hak Allah daripada hak manusia, berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu di atas, yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tunaikan hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852 –Fathukl Bari-] [9]

Pendapat ketiga ini merupan pendapat ulama madzhab Syafi’i. Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
Foote Note
[1]. Lihat Syarhu Shahih Muslim 11/33
[2]. Lihat juga Ahkamul Janaiz, hal. 25
[3]. Lihat Ahkamul Janaiz hal.25-26
[4]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 25
[5]. Lihat Fathul Bari 4/558. Dan lihat perbedaan pendapat dalam masalah ini dalam Syarh Shahih Muslim 11/52
[6]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal 28
[7]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal.16
[8]. Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah, hal.26
[9]. Lihat Nailul Authar 4/286-287.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Like

G+

Tweet